Langsung ke konten utama

Postingan

Makan

MAKAN Malang, 01 Juli 2010 Setiap kali melihat film ataulah drama scene yang paling berkesan terpasti adegan makan bersama Terasa senang menampaknya Terkadang haru Dan saat sedang rindu teman dulu yang diingat pertama: makan bersama: Di kantin Cafe Warung Kembul kos Makan-makan, Mengapa engkau begitu indah? Begitu biru?

Perbacaan (Malang, 16 Desember 2016)

Pas aku kecil di tahun '90-an pernah baca majalah Intisari terbitan tahun '80-an (yang nggak ngerti Intisari , ini semacam Rider Digest- nya Indonesia). Waktu itu dapet hibah dari saudara bertumpuk-tumpuk Intisari , TTS dan Majalah Kartini bekas. Majalah Intisari ini kecil tapi bener-bener lengkap dan asyik dibaca. Seru. Segala macam topik dibahas, baik luar maupun dalam negeri. Artikel-artikel dan feature -nya bener-bener menarik. Dan cerdas. No hoax *eh. Pokoknya, setiap kali selesai membaca satu ekseplar Intisari mendadak intelegensia kita meningkat satu tingkat. Mendadak kita bisa ngomong tentang bermacam-macam hal.  Nah, ada satu kolom di situ, kecil saja, yang suatu hari menampilkan suatu prediksi dari seorang peneliti Amerika. Si Amerika bilang, di masa depan orang tidak akan membeli majalah dan koran kertas lagi. Mereka akan membaca majalah dan koran elektronik berbentuk layar yang tidak perlu setiap hari beli karena berita akan disajikan melalui layar yang up to date

Sinopsis (Malang, 21 Februari 2017)

Aku kalau menulis puisi seringkali panjang-panjang. Satu judul bisa sampai tiga halaman folio. Tapi kalau disuruh menulis sinopsis- iya yang cuma separuh halaman itu- MATI KUTU***

Kroak (Malang, Gasebo FIA UB 2002)

1 Apa yang memecah belah negara dan dunia? Ideologi. Seharusnya mereka benar-benar tahu tidak ada kebenaran yang benar-benar benar Hanya pembenaran Kebenaran yang benar-benar benar pada Tuhan saja Manusia? Selurus apakah? Sama seperti petuah-Mu untuk mencari apa yang harus kita temukan yakni surga dan neraka Hijau dan merah dan kuning apa warna mereka aku masih mencari lagi Manusia tak punya apa-apa Iya? Iya? Lagi... Kacau Semua sudah berantakan Awan hitam, biru, lain-lain Aku memilih kalimah-kalimah Mengapa harus ber-isme  Bukan itu! Bersih Warna yang bersih Tercantum pada lembar-lembar fantasi dan puisi saja Kejujuran itu nol Hanya relativity yang nol Pucat seperti tajin Lantak-lantak pucuk cintamu dan cintaku hanya sebuah ketidakpastian yang nol Persen dan harga pada tiap-tiap kita Menurut mereka aku bukan seperti ketika itu Proses pemenuhan mengisi alur-alur kehidupan sampai benar-benar tumpah Hingga pembayaran akan dosa dan amal tak ber

Trade Mark (Malang, 27 Maret 2014)

Betapa kata adalah, oke ----- rangkaian kata ----- adalah semenjejak sidik jari. Barusan aku membaca dua review (setelah memakai Open DNS, lalu lintas surfingku di dunia maya lumayan lancar jaya ----- selancar jalur Panda'an – Singosari di tengah malam) tentang salah satu film sakit di jagad ini (aku tak berani menontonnya jadi lebih memilih membaca ulasannya). Dua review di dua hosting berbeda, akun berbeda, gaya penulisan (ataukah tutur?) berbeda. Tapi, dari bunga rampai yang terserak-serak pada keduanya, satu, dua, tiga kaitan-kaitan, yang anehnya aku tak merasakan hawa plagiat di sana, sama sekali. Tidak ada hawa contek-mencontek. Saling bersinggungan yang murni, berdiri sendiri, tapi anehnya begitu satu. Aku sungguh yakin mereka adalah orang yang sama.***

Zero (Malang, 2002)

Saat mentari kuning telur dalam benakmu telah meledak Lantas kamu tak bisa lagi melihat Dan kamu membaui setiap rasa sebagai menyakitkan... Jangan hancurkan nuranimu Kita terlalu indah untuk disobek-sobek Masih ada Dan terus ada